POLITIK
DAN PENDIDIKAN
PENDIDIKAN DAN KEKUASAAN
Dosen Pembimbing: MUHAMMAD
SYARIF KHOLILI, M.PdI
![]() |
Oleh :
1.Aida Maghfiroh
UNIVERSITAS ISLAM MAJAPAHIT
FAKULTAS AGAMA ISLAM
2012
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI ......................................................................................................... i
BAB
I PENDAHULUAN
BAB
II PEMBAHASAN
1. Hakekat
Politik........................................................................................ 2
2. Hubungan
politik dan Pendidikan...................................................... 3
3. Analisis
Kebijakan TerhadapPendidikan Islam di Indonesia......... 4
1.
Kebijakan Pendidikan Islam ORBA.................................... 4
2.
Kebijakan Pendidikan Islam Reformasi............................ 6
BAB III PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
Mengenai konsep kekuasaan dalam
hubungannya dengan pendidikan, Tilaar menyatakan bahwa kekuasaan dalam
pendidikan adalah kekuasaan yang bersifat transformatif. Tujuannya ialah dalam
proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek
dengan subjek yang lain. Kekuasaan yang transformatif membangkitkan refleksi,
dan refleksi tersebut membangkitkan aksi. Orientasi yang terjadi dalam aksi
tersebut merupakan orientasi yang advokatif[1]
(hal. 88).
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Hakekat Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat
yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara.
Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi
yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah
seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun nonkonstitusional.
Di samping itu
politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
1.
Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk
mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
2.
Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan dan negara
3.
Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk
mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
4.
Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan
dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu
dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan
politik, legitimasi, sistem
politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah
pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai
politik.
2. Hubungan Politik dan Pendidikan.
Pendidikan dan politik adalah dua elemen
penting dalam system sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun
Negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian – bagian yang
terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa – apa. Padahal,
keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu
Negara. Lebih dari itu, keduanya saling menunjang dan saling mengisi lembaga –
lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik
masyarakat di Negara tersebut. Ada
hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap Negara.
Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal
perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
PendidIkan sering dijadikan media
dan wadah untuk menanamkan ideology Negara atau tulang yang menopang kerangka
politik. Di Negara – Negara barat kajian tentang hubungan antara pendidikan dan
politk dimulai oleh Plato
dalambukunya Republic
yang membahas hubungan antara ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan
metode pendidikan.
Plato mendemonstrasikan dalam buku
tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan
yang terkait dengan lembanga – lembaga politik. Plato menggambarkan adanya
hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik. Keduanya
sakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Analisis Plato
tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan pendidikan
di kalangan generasi ilmuwan generasi berikutnya.
Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe
(1965 : 287), education and politics are inextricably linked (pendidikan dan
politik terikat tanpa bias dipisahkan). Hubungan timbal balik antara politik
dan pendidikan dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap
kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (employment), dan peranan
politik kaum cendikia (the political role of the intelligentsia).
Dalam masyarakat yang lebih maju
dan berorientasi teknologi, dan mengadopsi nilai – nilai dan lembaga barat,
pola hubungan antara pendidikan dan politik berubah dari pola tradisional ke
pola modern. Dibanyak Negara berkembang, dimana pengaruh modernisasi sangat
kuat. Jika politik dipahami sebagai
praktik kekuatan, kekuasan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan
keputusan – keputusan otoritatif tentnag alokasi sumber daya dan nilai – nilai
sosial (Harman, 1974 : 9), maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah
sebuah bisnis politik.
Hal tersebut menegaskan bahwa
pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling
mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung
unsur – unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada
kaitannya dengan aspek – aspek kependidikan.
3.
Analisis
Kebijakan Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia
Setiap periode perkembangan
pendidikan nasional adalah persoalan penting bagi suatu bangsa karena
perkembangan tersebut menentukan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknolgi, karakteristik, dan kesadara politik yang banyak mempengaruhi masa
depan bangsa tersebut. Setiap periode perkembangan pendidikan adalah faktor
politik dan kekuatan politik karena pada hakikatnya pendidikan adalah cerminan
aspirasi, kepentingan, dan tatanan kekuasaan kekuatan – kekuatan politik yang
sedang berkuasa.
Beberapa analisis tentang perkembanga pendidikan
islam di indonesia
a. Kebijakan
Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
Orde baru adalah masa pemerintahan di Indonesia
sejak 11 Maret 1966 hingga terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden
Soeharto ke presiden Habibi pada 21 Mei 1998. Peralihan dari Orde Lama ke Orde
Baru membawa konsekuensi perubahan strategi politik dan kebijakan pendidikan
nasional. Pada dasarnya Orde Baru adalah suatu korelasi total terhadap Orde
Lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap telah menyelewengkan pancasila. Masa
Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni
bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan
jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1973-1978 dan
1983 dalam siding MPR yang kemudian menyusun GBHN.
Selain itu, dalam Pelita IV di bidang agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin di kembangkan. Dengan semakin
meningkatnya dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan keagamaan dan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan baik dalam
kehidupan pribadi maupun kehidupan social kemasyarakatan. Diusahakan supaya
terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan
keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk
pendidikan agama Islam yang dimasukkan dalam kurikulum sekolah mulai dari
Sekolah Dasar sampai dengan Universitas Negeri. Kebijakan pemerintah orde baru
mengenai pendidikan Islam dalam konteks madrasah di Indonesia bersifat positif
dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan
1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan
kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan.
Pada awal – awal masa pemerintahan orde baru,
kebijakan tentang madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde
lama. Pada tahap ini madrasah belum di pandang sebagai bagian dari sistem
pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan bersifat otonom di
bawah pengawasan menteri agama. Menghadapi kenyataan tersebut di atas, langkah
pertama dalam melakukan pembaruan ini adalah di keluarkannya kebijakan tahun
1967 sebagai respons terhadap TAP MPRS No. XXVII tahun 1966 dengan melakukan
formalisasi dan strukturisasi Madrasah.
Dalam dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan
untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal –awal tahun 1970 –an, justru
kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari bagian
sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang di tempuh
pemerintah dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu
kebijakan berupa keputusan presiden nomor 34 tanggal 18 April tahun 1972
tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini
mencakup tiga hal :
1. Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas
dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kebijakan
2. Menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung
jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan
pegawai negeri
3. Ketua lembaga Administrasi Negara bertugas
dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk
pegawai negeri. Selanjutnya, kepres No 34 Tahun 1972 ini di pertegas oleh
inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII
Tahun 1966 dijelaskan “agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian
tujuan nasional.
Persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen
Agama, sedangkan madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga
pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama”. Dari ketentuan ini,
Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja bersifat
keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan keputusan presiden
No.34 Tahun 1972 dan impres 1974, penyelenggraan pendidikan dan kejuruan
sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab MENDIKBUD
b.
Kebijakan Pendidikan Islam Pada Masa Era
Reformasi
Pemerintah Orde Soeharto menegaskan kembali
tujuan dan cita-cita pendidikan nasional dengan dikeluarkannya TAP MPR
No.II/MPR/1988 dan UU Sistem Pendidikan Nasional, No. 2 tahun 1989. Inilah UU
Pendidikan yang pertama di zaman Orde Soeharto, dan juga UU Pendidikan yang ketiga
di Republik ini, setelah sebelumnya telah terbit di zaman Soekarno, yakni
Undang-undang Pendidikan dan Pengajaran (UUPP) No. 4 tahun 1950 dan UU No.
12/1954.
Ketetapan ini menjadi landasan dikeluarkannya UU
Pendidikan No. 21 tahun 1989. UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
ini diundangkan dan berlaku sejak 27 Maret 1989. UU ini antara lain menetapkan:
1.
Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (pasal
2)
2.
Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri,
serta rasa tangungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4)
Tentang pendidikan dan pengajaran agama,
terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara UUPP No. 4 tahun 1950 dan UU No.
12/1954 dengan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU
Pendidikan tahun 1950 dan 1954 dinyatakan bahwa ’dalam sekolah-sekolah negeri
diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan
mengikuti pelajaran tersebut’,[2].
Sementara dalam UU No. 2 1989, tidak lagi disebutkan ’dalam sekolah negeri’,
yang berarti tidak lagi membedakan sekolah negeri dan sekolah swasta dalam
memberlakukan pelajaran agama. Konsekuensi dari kebijakan ini pada dataran
operasional pendidikan telah dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah, ditahun
berikutnya, yaitu PP (Peraturan Pemerintah) No. 27 tahun 1990 tentang
Pendidikan Prasekolah, PP No. 28 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29/1990
tentang Pendidikan Menengah, dan PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi (dan
telah disempurnakan PP No. 22/1999). Semua peraturan tersebut mengatur
pelaksanaan pendidikan agama di lembaga pendidikan umum.
Menurut “Karnadi
Hasan,” UU Pendidikan tahun 1989 dan beberapa Peraturan Pemerintah tersebut
memberikan sebuah dampak terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam. Beliau
menjelaskan bahwa sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral
(sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan demikian,
kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah
sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga
pendidikan nasional secara keseluruhan.
Selain itu UU ini juga telah memuat ketentuan
tentang hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama
yang dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan PLB yang berciri khas
berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama
lain dari agama yang menjadi ciri khasnya. Inilah poin pendidikan yang kelak
menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa
dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena
mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya.
Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990,
yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna
agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan
agama yang dianutnya.
UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah
tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang
dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung
kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama.
Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum pendidikan
agama juga ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran
wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD, terdapat 9
mata pelajaran, termasuk pendidikan agama. Di SMP struktur kurikulumnya juga
sama, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pendidikan umum.
Demikian halnya di tingkatan SMU, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok
program pengajaran umum bersama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
Bahasa dan Sastra Indonesia,
Sejarah Nasional dan Sejarah Umum. Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan, Matematika, IPA (Fisika, Biologi, Kimia), IPS (Ekonomi, Sosiologi,
Geografi) dan Pendidikan Seni.
Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum 1994,
hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah
jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun
sebelumnya. Sampai rezim Orde Soeharto tumbang di tahun 1998, pendidikan di Indonesia,
masih menggunakan UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim
ini menggulirkan gagasan reformasi, yang salah satu agendanya adalah perubahan
dan pembaruan dalam bidang pendidikan, sebagaimana yang menjadi tema kritik
para pemerhati pendidikan dan diharapkan oleh banyak pihak.
Selanjutnya pada tahun 2003 ditetapkan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya disebut dengan UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal
yang diperdebatkan dengan tegang adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa
pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. ”Setiap peserta didik pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama,” [3]
Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau guru agama yang
seagama dengan peserta didik difasilitasi atau disediakan oleh pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur
dalam pasal 41 ayat 3.
UU ini juga sekaligus ”mengubur” bagian dari UU
No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak wajibnya
sekolah dengan latar belakang agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan
pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama Katolik untuk siswa
yang beragama Katolik). UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/ Yayasan Islam
untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut agama Katolik.
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 inilah yang menjadi pijakan
hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama di
sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan
bahwa ’kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama,
pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni
dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan
lokal.’ Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat 1 ini ditegaskan, ’pendidikan agama
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia’. Pelaksanaan pendidikan agama
di sekolah umum, juga diatur dalam undang-undang baik yang berkaitan dengan
sarana dan prasarana pendidikan, biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum
dan komponen pendidikan lainnya.
Perjalanan kebijakan pendidikan Indonesia
belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Kehadiran Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya
menumbuhkan harapan akan memberi keuntungan bagi peserta didik karena dianggap
sebagai penyempurnaan dari metode Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari
sisi mental maupun kapasistas guru tampaknya sangat berat untuk memenuhi
tuntutan ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara konseptual, ketika pemerintah
bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional, sehingga KBK segera diganti dan
disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai acuan
pendidikan secara nasional. Namun kebijakan-kebijakan tentang dunia pendidikan
di Indonesia akan terus
disempurnakan, sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan bangsa Indonesia.
BAB
III
KESIMPULAN
1. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat
yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan,
khususnya dalam negara.
Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi
yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
2.
Kebijakan pemerintah orde baru mengenai
pendidikan islam dalam konteks madrasah di indonesia bersifat positif dan
konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan
1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka
pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan.
3.
Kebijakan pemerintah pada era reformasi yeitu
Tentang pendidikan dan pengajaran agama, terdapat perbedaan yang sangat
mendasar antara UUPP No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12/1954 dengan UU No. 2/1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Pendidikan tahun 1950 dan 1954
dinyatakan bahwa ’dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang
tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut’, (pasal
20 ayat 1). Sementara dalam UU No. 2 1989, tidak lagi disebutkan ’dalam sekolah
negeri’, yang berarti tidak lagi membedakan sekolah negeri dan sekolah swasta
dalam memberlakukan pelajaran agama. Konsekuensi dari kebijakan ini pada
dataran operasional pendidikan telah dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah,
ditahun berikutnya, yaitu PP (Peraturan Pemerintah) No. 27 tahun 1990 tentang
Pendidikan Prasekolah, PP No. 28 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29/1990 tentang
Pendidikan Menengah, dan PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi (dan telah
disempurnakan PP No. 22/1999). Semua peraturan tersebut mengatur pelaksanaan
pendidikan agama di lembaga pendidikan umum.
DAFTAR
PUSTAKA
Sirozi,
M.2005.Politik Pendidikan.Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.
http:/re-searchengines.com/art05-73.html/
http:
//www.scribd.com/doc/2058421/politik-indonesia
http:/jawabali.com/pendidikan/politik-pendidkan-557
Tidak ada komentar:
Posting Komentar