Rabu, 30 Mei 2012


POLITIK DAN PENDIDIKAN
PENDIDIKAN DAN KEKUASAAN
Dosen Pembimbing: MUHAMMAD SYARIF KHOLILI, M.PdI




Logo unim
 






Oleh :



1.Aida Maghfiroh
                                                                                                                                   


UNIVERSITAS ISLAM MAJAPAHIT
FAKULTAS AGAMA ISLAM
2012
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .........................................................................................................   i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
1. Hakekat Politik........................................................................................   2
2. Hubungan politik dan Pendidikan......................................................   3
3. Analisis Kebijakan TerhadapPendidikan Islam di Indonesia.........   4
1.                  Kebijakan Pendidikan Islam ORBA....................................   4
2.                  Kebijakan Pendidikan Islam Reformasi............................   6
BAB III PENUTUP




BAB I
PENDAHULUAN
Mengenai konsep kekuasaan dalam hubungannya dengan pendidikan, Tilaar menyatakan bahwa kekuasaan dalam pendidikan adalah kekuasaan yang bersifat transformatif. Tujuannya ialah dalam proses terjadinya hubungan kekuasaan tidak ada bentuk subordinasi antara subjek dengan subjek yang lain. Kekuasaan yang transformatif membangkitkan refleksi, dan refleksi tersebut membangkitkan aksi. Orientasi yang terjadi dalam aksi tersebut merupakan orientasi yang advokatif[1] (hal. 88).













BAB II
PEMBAHASAN

1.      Hakekat Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
1.        Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
2.        Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
3.        Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
4.        Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
       Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.


2.       Hubungan Politik dan Pendidikan.
 Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam system sosial politik disetiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian – bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa – apa. Padahal, keduanya bahu membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat disuatu Negara. Lebih dari itu, keduanya saling menunjang dan saling mengisi lembaga – lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di Negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik disetiap Negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.
             PendidIkan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideology Negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Di Negara – Negara barat kajian tentang hubungan antara pendidikan dan politk dimulai oleh Plato dalambukunya Republic yang membahas hubungan antara ideology dan institusi Negara dengan tujuan dan metode pendidikan.
             Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait dengan lembanga – lembaga politik. Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan aktivitas politik. Keduanya sakan dua sisi dari satu koin, tidak mungkin terpisahkan. Analisis Plato tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan pendidikan di kalangan generasi ilmuwan generasi berikutnya.
             Dalam ungkapan Abernethy dan Coombe (1965 : 287), education and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terikat tanpa bias dipisahkan). Hubungan timbal balik antara politik dan pendidikan dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (employment), dan peranan politik kaum cendikia (the political role of the intelligentsia).
             Dalam masyarakat yang lebih maju dan berorientasi teknologi, dan mengadopsi nilai – nilai dan lembaga barat, pola hubungan antara pendidikan dan politik berubah dari pola tradisional ke pola modern. Dibanyak Negara berkembang, dimana pengaruh modernisasi sangat kuat.   Jika politik dipahami sebagai praktik kekuatan, kekuasan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan – keputusan otoritatif tentnag alokasi sumber daya dan nilai – nilai sosial (Harman, 1974 : 9), maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik.
             Hal tersebut menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal yang berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Dengan kata lain, berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur – unsur politik. Begitu juga sebaliknya, setiap aktivitas politik ada kaitannya dengan aspek – aspek kependidikan.
3.      Analisis Kebijakan Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia
             Setiap periode perkembangan pendidikan nasional adalah persoalan penting bagi suatu bangsa karena perkembangan tersebut menentukan tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknolgi, karakteristik, dan kesadara politik yang banyak mempengaruhi masa depan bangsa tersebut. Setiap periode perkembangan pendidikan adalah faktor politik dan kekuatan politik karena pada hakikatnya pendidikan adalah cerminan aspirasi, kepentingan, dan tatanan kekuasaan kekuatan – kekuatan politik yang sedang berkuasa.
Beberapa analisis tentang perkembanga pendidikan  islam di indonesia
a.      Kebijakan Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
Orde baru adalah masa pemerintahan di Indonesia sejak 11 Maret 1966 hingga terjadinya peralihan kepresidenan, dari presiden Soeharto ke presiden Habibi pada 21 Mei 1998. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa konsekuensi perubahan strategi politik dan kebijakan pendidikan nasional. Pada dasarnya Orde Baru adalah suatu korelasi total terhadap Orde Lama yang didominasi oleh PKI dan dianggap telah menyelewengkan pancasila. Masa Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan. Yakni bertujuan membangun manusia seutuhnya dan menyeimbangkan antara rohani dan jasmani untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1973-1978 dan 1983 dalam siding MPR yang kemudian menyusun GBHN.
Selain itu, dalam Pelita IV di bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin di kembangkan. Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan social kemasyarakatan. Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk pendidikan agama Islam yang dimasukkan dalam kurikulum sekolah mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Universitas Negeri. Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan Islam dalam konteks madrasah di Indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan.
Pada awal – awal masa pemerintahan orde baru, kebijakan tentang madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah belum di pandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan bersifat otonom di bawah pengawasan menteri agama. Menghadapi kenyataan tersebut di atas, langkah pertama dalam melakukan pembaruan ini adalah di keluarkannya kebijakan tahun 1967 sebagai respons terhadap TAP MPRS No. XXVII tahun 1966 dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi Madrasah.
Dalam dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal –awal tahun 1970 –an, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan langkah yang di tempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa keputusan presiden nomor 34 tanggal 18 April tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini mencakup tiga hal :
1. Menteri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kebijakan
2. Menteri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan dan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja akan pegawai negeri
3. Ketua lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri. Selanjutnya, kepres No 34 Tahun 1972 ini di pertegas oleh inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dalam TAP MPRS Nomor XVII Tahun 1966 dijelaskan “agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional.
Persoalan keagamaan dikelola oleh Departemen Agama, sedangkan madrasah dalam TAP MPRS Nomor 2 Tahun 1960 adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama”. Dari ketentuan ini, Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan. Dengan keputusan presiden No.34 Tahun 1972 dan impres 1974, penyelenggraan pendidikan dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab MENDIKBUD
b.      Kebijakan Pendidikan Islam Pada Masa Era Reformasi
Pemerintah Orde Soeharto menegaskan kembali tujuan dan cita-cita pendidikan nasional dengan dikeluarkannya TAP MPR No.II/MPR/1988 dan UU Sistem Pendidikan Nasional, No. 2 tahun 1989. Inilah UU Pendidikan yang pertama di zaman Orde Soeharto, dan juga UU Pendidikan yang ketiga di Republik ini, setelah sebelumnya telah terbit di zaman Soekarno, yakni Undang-undang Pendidikan dan Pengajaran (UUPP) No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12/1954.
Ketetapan ini menjadi landasan dikeluarkannya UU Pendidikan No. 21 tahun 1989. UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini diundangkan dan berlaku sejak 27 Maret 1989. UU ini antara lain menetapkan:
    1. Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (pasal 2)
   2. Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tangungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Pasal 4)
Tentang pendidikan dan pengajaran agama, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara UUPP No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12/1954 dengan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Pendidikan tahun 1950 dan 1954 dinyatakan bahwa ’dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut’,[2]. Sementara dalam UU No. 2 1989, tidak lagi disebutkan ’dalam sekolah negeri’, yang berarti tidak lagi membedakan sekolah negeri dan sekolah swasta dalam memberlakukan pelajaran agama. Konsekuensi dari kebijakan ini pada dataran operasional pendidikan telah dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah, ditahun berikutnya, yaitu PP (Peraturan Pemerintah) No. 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah, PP No. 28 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, dan PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi (dan telah disempurnakan PP No. 22/1999). Semua peraturan tersebut mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga pendidikan umum.
Menurut  “Karnadi Hasan,” UU Pendidikan tahun 1989 dan beberapa Peraturan Pemerintah tersebut memberikan sebuah dampak terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam. Beliau menjelaskan bahwa sejak diberlakukannya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi bagian integral (sub-sistem) dari sistem pendidikan nasional. Sehingga dengan demikian, kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah sebangun dengan kebijakan dasar pendidikan agama pada lembaga-lembaga pendidikan nasional secara keseluruhan.
Selain itu UU ini juga telah memuat ketentuan tentang hak setiap siswa untuk memperoleh pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya. Namun, SD, SLTP, SMU, SMK dan PLB yang berciri khas berdasarkan agama tertentu tidak diwajibkan menyelenggarakan pendidikan agama lain dari agama yang menjadi ciri khasnya. Inilah poin pendidikan yang kelak menimbulkan polemik dan kritik dari sejumlah kalangan, dimana para siswa dikhawatirkan akan pindah agama (berdasarkan agama Yayasan/Sekolah), karena mengalami pendidikan agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Kritik itu semakin kencang, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, yang secara eksplisit menyatakan bahwa sekolah-sekolah menengah dengan warna agama tertentu tidak diharuskan memberikan pelajaran agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya.
UU No. 2 tahun 1989 itu dan peraturan pemerintah tersebut dinilai oleh sebagian kalangan sebagai UU yang tidak memberikan ruang dialog keagamaan di kalangan siswa. Ia juga memberikan peran tidak langsung kepada sekolah untuk mengkotak-kotakkan siswa berdasarkan agama.
Pada tahun 1994, kebijakan kurikulum pendidikan agama juga ditempatkan di seluruh jenjang pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi. Pada jenjang pendidikan SD, terdapat 9 mata pelajaran, termasuk pendidikan agama. Di SMP struktur kurikulumnya juga sama, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pendidikan umum. Demikian halnya di tingkatan SMU, dimana pendidikan agama masuk dalam kelompok program pengajaran umum bersama Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa dan Sastra Indonesia, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum. Bahasa Inggris, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Matematika, IPA (Fisika, Biologi, Kimia), IPS (Ekonomi, Sosiologi, Geografi) dan Pendidikan Seni.
Dari sudut pendidikan agama, Kurikulum 1994, hanyalah penyempurnaan dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sampai rezim Orde Soeharto tumbang di tahun 1998, pendidikan di Indonesia, masih menggunakan UU Pendidikan tahun 1989, dan kuriklum 1994. Tumbangnya rezim ini menggulirkan gagasan reformasi, yang salah satu agendanya adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan, sebagaimana yang menjadi tema kritik para pemerhati pendidikan dan diharapkan oleh banyak pihak.
Selanjutnya pada tahun 2003 ditetapkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya disebut dengan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini pasal yang diperdebatkan dengan tegang adalah pasal 12 yang menyebutkan bahwa pendidikan agama adalah hak setiap peserta didik. ”Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama,” [3] Dalam bagian penjelasan diterangkan pula bahwa pendidik atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi atau disediakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat 3.
UU ini juga sekaligus ”mengubur” bagian dari UU No. 2/1989 dan Peraturan Pemerintah, No. 29/1990, tentang tidak wajibnya sekolah dengan latar belakang agama tertentu (misalnya Islam) mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa (misalnya pelajaran agama Katolik untuk siswa yang beragama Katolik). UU Sisdiknas 2003 mewajibkan sekolah/ Yayasan Islam untuk mengajarkan pendidikan Katolik untuk siswa yang menganut agama Katolik. UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 inilah yang menjadi pijakan hukum dan konstitusional bagi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta. Pada pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa ’kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal.’ Dalam penjelasan atas pasal 37 ayat 1 ini ditegaskan, ’pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia’. Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum, juga diatur dalam undang-undang baik yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan, biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum dan komponen pendidikan lainnya.
Perjalanan kebijakan pendidikan Indonesia belum berakhir, pada tahun 2004 pemerintah menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kehadiran Kurikulum berbasis kompetensi pada mulanya menumbuhkan harapan akan memberi keuntungan bagi peserta didik karena dianggap sebagai penyempurnaan dari metode Cara belajar siswa Aktif (CBSA). Namun dari sisi mental maupun kapasistas guru tampaknya sangat berat untuk memenuhi tuntutan ini. Pemerintah juga sangat kewalahan secara konseptual, ketika pemerintah bersikeras dengan pemberlakukan Ujian Nasional, sehingga KBK segera diganti dan disempurnakan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai acuan pendidikan secara nasional. Namun kebijakan-kebijakan tentang dunia pendidikan di Indonesia akan terus disempurnakan, sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan bangsa Indonesia.








BAB III
KESIMPULAN

1.      Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
2.      Kebijakan pemerintah orde baru mengenai pendidikan islam dalam konteks madrasah di indonesia bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an sampai dengan 1990-an. Pada pemerintah, lembaga pendidikan di kembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan peningkatan dan peningkatan mutu pendidikan.
3.      Kebijakan pemerintah pada era reformasi yeitu Tentang pendidikan dan pengajaran agama, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara UUPP No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12/1954 dengan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU Pendidikan tahun 1950 dan 1954 dinyatakan bahwa ’dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut’, (pasal 20 ayat 1). Sementara dalam UU No. 2 1989, tidak lagi disebutkan ’dalam sekolah negeri’, yang berarti tidak lagi membedakan sekolah negeri dan sekolah swasta dalam memberlakukan pelajaran agama. Konsekuensi dari kebijakan ini pada dataran operasional pendidikan telah dikeluarkan beberapa peraturan pemerintah, ditahun berikutnya, yaitu PP (Peraturan Pemerintah) No. 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah, PP No. 28 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, dan PP No. 30/1990 tentang Pendidikan Tinggi (dan telah disempurnakan PP No. 22/1999). Semua peraturan tersebut mengatur pelaksanaan pendidikan agama di lembaga pendidikan umum.



[1] Hal 88
[2] UUD (pasal 20  ayat 1)
[3] UUD (Pasal 12 ayat a )



DAFTAR PUSTAKA

Sirozi, M.2005.Politik Pendidikan.Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.
http:/re-searchengines.com/art05-73.html/
http: //www.scribd.com/doc/2058421/politik-indonesia
http:/jawabali.com/pendidikan/politik-pendidkan-557






Tidak ada komentar:

Posting Komentar